ARTIKEL POPULER Resensi Cerpen Saksi Mata (Fakultas Bahasa dan Seni - UNESA)

ARTIKEL  POPULER
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

 

Oleh Kelompok 3 :
                                        Aliyya Putri Ma’rifatus Saniyyah           (24020114003) 
                                        Navia Sausan Majidah                            (24020114007) 
                                        Natasya Dinda Artika Dewi                    (24020114021) 
                                        Ahmad Nur Madani                                (24020114036) 

Judul             : Saksi Mata
Penulis          : Seno Gumira Ajidarma
Halaman       : 158 halaman
Cetakan        : Cetakan Pertama, 2021.
Penerbit        : Pabrik Tulisan

Pendahuluan
    Cerpen "Saksi Mata" karya Seno Gumira Ajidarma adalah sebuah karya sastra yang tidak hanya menyuguhkan alur cerita fiksi, tetapi juga mengandung kenyataan pahit tentang kekerasan dan penindasan yang terjadi di masyarakat. Dengan latar Kota Ningi, sebuah kota fiktif yang didominasi oleh kekejaman dan kehilangan, cerpen ini memaparkan sisi kelam kehidupan manusia yang sering kali diabaikan atau bahkan sengaja ditutupi. Melalui gaya bahasa yang kuat dan simbolisme yang mendalam, penulis menyuarakan jeritan manusia-manusia yang sudah tidak memiliki ruang untuk bersuara. Cerpen ini bukan hanya bentuk ekspresi artistik, melainkan juga sebuah refleksi sosial yang mengajak pembaca untuk merenungkan dan menyadari kondisi kemanusiaan yang kerap terpinggirkan.

Sinopsis
    Cerita berlatar di sebuah tempat bernama Kota Ningi, yang dipenuhi oleh kekerasan, ketakutan, dan ketidakberdayaan. Kota ini seperti neraka bagi penduduknya, tempat di mana kematian datang secara tiba-tiba dan misterius. Orang-orang menghilang tanpa jejak, dan sebagai gantinya, muncul benda-benda mati yang tidak bisa menjelaskan apa pun. Di tengah situasi tersebut, muncul sosok yang dikenal sebagai Perempuan Bisu. Ia menjadi perwakilan dari masyarakat yang dibungkam, yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan, bahkan untuk sekadar bersuara. Meskipun menyaksikan berbagai kekejaman, ia hanya bisa diam, seolah untuk menunjukkan betapa lemahnya posisi rakyat dalam menghadapi kekuasaan yang sewenang-wenang. Narator dalam cerita berperan sebagai saksi dari seluruh peristiwa kelam yang terjadi, namun ia sendiri juga tidak lepas dari trauma yang mendalam, sehingga kebenaran yang ingin diungkap menjadi kabur dan menyakitkan. Dalam cerpen ini, tema-tema seperti kekerasan, ketidakadilan, kehilangan, dan harapan yang samar disampaikan secara intens dan emosional.
Ringkasan cerita
    Cerita ini menceritakan tentang Kota Ningi, kota yang penuh dengan kehororan. Di mana darah dengan mengalir membanjiri kota, dan juga cerpen ini menceritakan tentang percintaan serta terdapat manusia yang dipaksa hidup dalam ketakutan serta penderitaan yang terus-menerus. Setelah itu, warga hilang dengan satu per-satu, yang digantikan dengan benda-benda sunyi seperti sendok yang berdiri dengan sendiri. Selain itu, kekerasan menjadi sebuah keseharian mata yang dicongkel, telinga dipajang, tubuhnya digantung dengan tuduhan yang sepele. Dengan di tengah sistem yang menindas dan membungkam, sebagian orang memilih melawan dari bawah tanah, meski mereka juga akhirnya terjebak dalam fanatisme yang sama. Dalam kota ini juga menyimpan kisah-kisah pilu tentang Maria yang tak mengenali anaknya sendiri, tentang penderita yang sudah menyangkal penyakitnya, hingga anak-anak yatim piatu yang dibiarkan kurus dan sekarat. Selain itu, sejarah tetap diajarkan di rerumputan, seakan menjadi satu-satunya cahaya kecil di antara reruntuhan kemanusiaan.

Analisis karakter
Pada umumnya karakter-karakter dalam cerpen Saksi Mata sengaja dibuat tanpa nama atau tidak dikenal dan kurangnya keterangan yang spesifik, dengan demikian menyoroti fakta bahwa siapa pun bisa menjadi korban tindak kekerasan. Di antara para tokoh, berikut ini adalah yang paling menonjol adalah :
➢ Perempuan Bisu (Cerpen "Saksi Mata"), dia adalah sosok utama yang menyaksikan peristiwa pembantaian tersebut, namun tidak mampu bersuara, baik secara harfiah maupun metaforis. Kebisuannya melambangkan masyarakat yang menyimpan kebenaran di dalam hati mereka, namun dibungkam secara paksa. Melalui mata dan lukanya, ia mengekspresikan penderitaan kolektif yang tak bisa untuk diucapkan.
➢ Aparat militer, mereka cenderung menjadi simbol otoritas yang ekstrem dan tidak berperasan. Mereka tidak hanya menggunakan paksaan fisik, tetapi juga menebar teror psikis. Kehadiran mereka melambangkan kemampuan negara untuk menjadi alat penindasan yang membahayakan serta mengekang kebebasan.
➢ Rakyat Tanpa Nama, figur-figur seperti ibu rumah tangga, anak kecil, jurnalis, atau pemuda sering ditandai dengan label seperti "seorang ibu" atau "seorang pemuda". Keberadaan mereka tanpa identitas tepat menunjukkan bahwa orang-orang biasa ini dapat dengan mudah menjadi korban, kemudian kehilangan jati diri mereka dalam sistem yang tidak peduli dan kejam.
➢ Narator sebagai Saksi, dalam beberapa narasi, narator digambarkan sebagai seorang saksi, yang terkadang berperan sebagai penulis atau jurnalis yang selamat dari pengalaman kekejaman. Suara Seno mungkin tercermin dalam karakter narator tersebut, yang mengungkapkan keprihatinan dan menekankan bahwa realitas tidak boleh disembunyikan oleh kebisuan dan trauma.

Tema Utama
    Misterius karena cerpen ini menceritakan tentang seorang saksi mata yang menyaksikan kekerasan dan pembunuhan.

Relevansi karya sesuai dengan kehidupan
    Dalam cerpen Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma dengan lihai menampilkan gema kekerasan dan penindasan di Timor Timur melalui tokoh-tokoh yang tidak disebutkan Namanya, mulai dari Perempuan Bisu yang membungkam kebenaran, rakyat biasa yang membawa luka kolektif, hingga seorang narator dan jurnalis yang dengan berani mengungkapkan kebenaran. Meskipun cerpen ini berlatar belakang konflik kekerasan, cerpen ini menjadi pengingat bagi kita untuk terus mendukung dan membuka ruang untuk mereka yang terpinggirkan, serta meminta pertanggungjawaban dari mereka yang berkuasa, dan menghargai ingatan bersama kita sebagai sarana untuk fondasi dasar penyembuhan dan peradaban berkeadaban ditengah arus penindasan struktural.

Kelebihan Cerita
    Salah satu keunggulan utama dari cerpen "Saksi Mata" adalah kemampuan pengarangnya dalam menyampaikan pesan tentang kekerasan dan penindasan dengan sangat mendalam dan emosional. Seno Gumira Ajidarma tidak menggurui pembaca, tetapi membangkitkan kesadaran mereka melalui alur cerita yang penuh emosi dan simbolik. Pembaca tidak hanya diajak untuk membaca cerita, tetapi juga untuk merasakan penderitaan dan luka yang dialami oleh para tokohnya.
    Selain itu, karakter-karakter dalam cerita ini, meskipun sebagian besar tidak disebutkan namanya, justru memiliki kekuatan simbolik yang sangat kuat. Mereka mewakili siapa saja - orang biasa, perempuan tertindas, saksi bisu, bahkan korban dari kekuasaan tiran. Anonimitas ini memungkinkan pembaca membayangkan bahwa setiap karakter bisa menjadi cerminan diri mereka sendiri atau orang-orang di sekitar mereka.
    Gaya narasi yang digunakan juga menjadi salah satu kekuatan utama dalam cerita ini. Penggunaan sudut pandang orang pertama melalui tokoh narator yang menyaksikan langsung kekejaman tersebut menambah kedalaman psikologis cerita. Narator tidak hanya menceritakan kejadian, tetapi juga menampilkan dampak psikologis yang ia rasakan, sehingga pembaca dapat lebih memahami betapa mengerikannya situasi yang terjadi.
    Cerita ini juga memiliki relevansi sosial yang sangat kuat. Meskipun berlatar di kota fiktif, situasi yang digambarkan dapat mencerminkan banyak realitas sosial dan politik yang terjadi di dunia nyata, baik pada masa lalu maupun masa kini. Oleh karena itu, "Saksi Mata" adalah cerita yang bersifat abadi, selalu relevan untuk dibaca kapan pun karena pesan-pesan kemanusiaannya tidak pernah usang.

Kekurangan Cerita
    Namun demikian, meskipun memiliki banyak kelebihan, cerpen ini juga tidak lepas dari kelemahan. Salah satu hal yang mungkin mengganggu bagi sebagian pembaca adalah tidak adanya pengembangan karakter secara individu. Karakter-karakter tanpa nama memang kuat secara simbolis, tetapi bagi pembaca yang lebih menyukai cerita dengan pendalaman karakter yang personal dan detail, hal ini bisa menjadi kendala dalam membangun ikatan emosional dengan para tokoh.
    Alur cerita yang gelap dan suram juga bisa menjadi beban bagi sebagian pembaca. Cerita yang dipenuhi oleh kekerasan, kehilangan, dan rasa takut ini menyisakan sangat sedikit ruang untuk harapan atau kelegaan. Bagi pembaca yang sensitif terhadap tema seperti penyiksaan dan trauma, cerita ini bisa terasa terlalu berat dan mengganggu secara emosional.
    Selain itu, tingkat ambiguitas dalam cerpen ini cukup tinggi. Banyak simbol dan peristiwa yang dibiarkan terbuka untuk interpretasi, yang bisa menjadi kekuatan bagi sebagian pembaca yang menyukai tantangan, tetapi juga bisa menjadi kelemahan bagi mereka yang menginginkan cerita dengan alur yang jelas dan tuntas. Ambiguitas ini bisa membuat pesan cerita ditangkap secara berbeda-beda, atau bahkan terlewatkan oleh pembaca yang tidak terbiasa dengan gaya penceritaan seperti ini.

Kesimpulan
    Secara keseluruhan, "Saksi Mata" adalah karya sastra yang luar biasa dan sangat menggugah. Dengan pendekatan yang simbolis, narasi yang menyayat hati, serta tema yang sangat relevan dengan kondisi sosial manusia, cerita ini berhasil menampilkan realitas kekerasan dan ketidakadilan dengan cara yang tidak biasa. Seno Gumira Ajidarma, melalui cerpen ini, mengajak pembaca untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga merenung dan berefleksi terhadap kondisi sosial yang terjadi di sekitar mereka. Meskipun memiliki beberapa kekurangan seperti pengembangan karakter yang minim, alur cerita yang berat, dan ambiguitas naratif, semua itu justru memperkuat kesan mendalam yang ingin disampaikan oleh penulis. Cerpen ini adalah sebuah panggilan untuk menyadari pentingnya suara dan kebenaran di tengah dunia yang dipenuhi oleh kebisuan dan ketakutan.

Komentar

Postingan Populer